Kuasa Simbolik Para Hyung Twitter

Waktu menulis esai ini, sudah tepat seminggu sejak saya kembali ke ranah percuitan alias Twitter. Sebetulnya saya sudah punya akun di media sosial ini sejak 2009, tapi setahun yang lalu saya putuskan untuk hiatus sejenak dengan cara deaktivasi. Saat itu saya muak dengan berbagai akun yang berantem dan saling bertahan dengan ke-sotoy-an masing-masing. Karena takut jadi keterusan dan tak tahan ikutan berantem, saya pun kabur dari arena itu.

Tapi apa mau dikata, akhirnya ada berbagai kebutuhan yang bikin saya kembali lagi ke pangkuan Twitter. Aroma si burung biru muda satu ini masih mirip dengan waktu saya meninggalkannya. Kelompok-kelompok penggunanya juga masih variatif dan seru diamati celotehannya. Dan di antara para pencuit, tentu saja masih banyak kawan-kawan kita yang adalah penggemar selebritas Korea.

Kelompok penggemar Korea kebanyakan suka mempromosikan grup idola mereka di lini masa masing-masing. Dan walaupun tidaksemua, ada beberapa di antara mereka yang hobi membagikan foto-foto idolanya diiringi kepsyen dengan nada menyanjung. Unggahan itu pun tak jarang bersambut oleh pemilik akun lain yang juga mengidolakan satu sosok yang sama. Ujungnya, para fans ini bisa saja saling berbalas cuitan tanpa sebelumnya saling kenal di dunia nyata.

Dalam interaksi antarpenggemar artis Korea itulah saya mengamati sedikit keunikan, yaitu bagaimana mereka acapkali memanggil satu sama lain denggan sebutan “Hyung”. Kenapa unik? Karena panggilan itu sering tidak sesuai dengan aturan bahasa Korea yang sebetulnya, di mana ia malah banyak ditujukan ke sosok tertentu, tanpa peduli usia maupun jenis kelamin. Padahal berbagai jenis panggilan dalam bahasa Korea sangat spesifik mengenai dua elemen ini, lho.

Terus terang, saya sendiri cukup menggemari beberapa sosok selebritas negara yang terkenal dengan gingsengnya itu. Yah, bisa dibilang cukup mengikuti Korean Wave lah. Dari mulai K-Pop hingga K-Drama. Tapi saya bukan tipe penggemar yang cukup percaya diri untuk melepas hasrat fanatisme saya di media sosial.

Nah, karena pengetahuan cetek saya terkait dunia industri Korea inilah saya mengerti istilah “Hyung”. Jadi kata “Hyung” adalah panggilan untuk kakak laki-laki atau sosok laki-laki yang lebih tua. Kalau di Indonesia mungkin bisa digantikan dengan “Abang”, “Mas”, atau “Aa’”. Bedanya, kalau di negara kita, panggilan-panggilan itu tidak terbatas dilakukan oleh perempuan atau laki-laki. Sementara kalau “Hyung” spesifik digunakan oleh laki-laki yang lebih muda ke laki-laki yang lebih tua. Kalau yang memanggil laki-laki yang lebih tua itu adalah perempuan yang lebih muda, kata yang semestinya dipakai bukan “Hyung”, tapi “Oppa”.

Beda lagi kalau sosok yang dipanggil itu perempuan yang lebih tua. Kalau di Indonesia kita mengenal “Mbak” dan “Teteh” yang maknanya sama, di sana ada “Unnie” dan “Noona”. Bedanya? Tentu saja lagi-lagi masalah jenis kelamin. Kata “Unnie” dipakai perempuan yang lebih muda pada perempuan yang lebih tua, sementara “Noona” ditujukan pada perempuan yang lebih tua oleh laki-laki yang lebih muda. Kalau Anda baru mengenal istilah-istilah ini, harap bersabar dengan kerumitannya, ya. Hidup adalah perjuangan.

Pengetahuan terkait tetek bengek berbagai panggilan kakak dalam bahasa Korea lalu membuat saya bertanya-tanya. Kok ada teman Twitter saya yang menyapa penggemar lain yang berjenis kelamin perempuan dengan panggilan “Hyung”? Berangkat dari rasa penasaran itu saya menggali pandangan para penggemar K-Pop di Twitter. Sebuah cuitan membuat saya menganggukkan kepala sejenak. Isinya, “Ya kalau orang lain manggil elo Hyung, itu artinya dia rispek sama lo. Tanda penghormatan aja gitu..”

Oke, masuk akal sih. Dengan penggunaan kata “Hyung”, mereka mengasosiasikan orang yang lebih tua dengan sosok yang perlu dihormati. Tapi, lho, kenapa mesti pakai “Hyung” yang notabene panggilan untuk laki-laki saja? Kenapa ketika sapaan ditujukan pada seorang penggemar K-pop perempuan, panggilannya “Hyung” juga? Kenapa bukan “Unnie” atau “Noona”?

Pengetahuan lebih luas terkait dunia Korea memberi seseorang kekuatan tersendiri dibanding penggemar lainnya, yang kemudian menjadikannya seorang “Hyung”. Itulah kenapa Mbah Foucault selalu bilang kalau pengetahuan adalah kekuasaan. Perkaranya, dengan penggunaan “Hyung”, ada stereotip yang terlanggengkan. Apalagi kalau bukan masalah gender, bahwasanyalaki-laki dinilai punya posisi yang lebih terhormat dibandingkan perempuan.

Ketika bicara soal sosok yang dihormati dan memiliki pengetahuan lebih baik, kelompok yang lebih tua dan laki-laki seolah jadi top of mind. Padahal pengetahuan dan rasa hormat seharusnya tidak berbatas pada jenis alat kelamin, kan?

Kalau kata Pierre Bourdieu, fenomena ini bisa dikategorikan sebagai praktik permainan kekuasaan, alias power play, yang dilakukan secara simbolik. Para “Hyung” jadi kelompok yang dominan dibandingkan para pemanggilnya. Tapi karena terjadi dalam bentuk yang sangat halus, praktik ini tidak mengundang resistensi. Dia malah memicu konformitas karena sudah punya legitimasi sosial dari sebagian besar populasi penggemar K-Pop, khususnya di Twitter.

Permainan kekuasaan antara para “Hyung” dan pemanggilnya akhirnya menjadi bentuk dominasi simbolik. Meski Bourdieu sering menggunakan istilah ini bergantian dengan kekerasan simbolik yang tak terlihat bekasnya secara fisik, saya lebih sreg menggunakan kata dominasi dalam fenomena ini. Soalnya, alur dominasinya justru mengalir dari pihak yang tidak mendominasi, yakni kelompok yang menggunakan panggilan “Hyung”, bukan si “Hyung” itu sendiri.

Wah, menulis bagian ini membuat saya jadi merinding. Rasanya seperti dirasuki salah satu jiwa-jiwa SJW di ranah maya. Tapi percayalah, tulisan ini saya buat tanpa maksud menyalah-nyalahkan para “Hyung” maupun para adiknya.

Buat saya, praktik sapaan ini menarik saja untuk diperbincangkan. Soalnya dunia hiburan Korea selama ini hampir selalu identik dengan kesetaraan gender. Pembicaraan mengenai dunia ini bahkan tak jarang jadi arena debat antara kelompok tertentu yang menyebut selebritas laki-laki asal negara tersebut sebagai banci, dengan persatuan feminis, kalau bukan feminazi, yang tentu saja akan melakukan  defense dan men-judge si penyerang dengan label misogini.

Saya tidak mau terlibat percekcokan yang demikian. Fenomena ini cukuplah jadi fenomena. Silakan nikmati kehidupan pro-Hyung ataupun anti-Hyung kalian masing-masing. Akhir kata, penulis mengucapkan, annyeong, haengbok haseyo!

Buruh Hiburan dalam Bingkai PPKM

Holywings.

Satu nama brand yang sebenarnya sudah cukup beken ini dalam beberapa hari terakhir makin santer jadi omongan publik. Bukan karena meraih prestasi, melainkan karena tersandung polemik. Kafe bar ini, cabang yang berlokasi di Kemang lebih tepatnya, jadi bahan gunjingan warganet karena kedapatan aparat melanggar PPKM Level 3 yang tengah diterapkan di ibukota. Denda dan sanksi pelarangan kegiatan operasional pun tak terhindarkan.

Bukan rahasia lagi kalau kasus hebohnya razia Holywings Kemang kemarin ini jadi isu yang hangat diangkat media. Selain kasus ruwet bin aneh KPI seputar pelecehan dalam lingkup internal hingga pendapukan kehadiran “Bang Ipul” di televisi untuk melakukan edukasi bahaya predator, berita-berita mengenai Holywings juga tak kalah hot. Isunya pun tak hanya berhenti di media massa, tapi merembet viral ke berbagai media sosial.

Lucunya, kalau memerhatikan kebanyakan pemberitaan dan isu-isu beredar soal kasus Holywings, kita seperti hanya dihadapkan pada peperangan dua kubu, yakni pengusaha dan masyarakat.

Pengusaha yang dimaksud sebagai kelompok pertama adalah mereka yang bergerak pada usaha hiburan. Tidak bisa dimungkiri, pandemi yang bikin hampir segalanya mampet membuat bisnis usaha hiburan jadi berantakan. Berbagai pembatasan sosial yang digalakkan pemerintah mereduksi pemasukan para punggawanya secara signifikan.

Bicara usaha hiburan, ada seribuan lebih jumlahnya di Jakarta. Setidaknya pada tahun 2020 saja, terdapat 705 bar, 66 diskotek, 230 griya pijat, 268 karaoke, 8 klub malam, 43 pijat refleksi, dan 14 SPA. Dan ironisnya, Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Aspija) sempat mencatat adanya penurunan jumlah pengunjung di tempat hiburan sebanyak 30%.

Bagi para pengusaha usaha hiburan, ada dua pilihan. Pertama, nurut dan ikut bekerja sama mematuhi aturan pembatasan sosial tetapi berjibaku dengan kerugian akibat minim pengunjung. Atau kedua, diam-diam bandel melanggar aturan namun dengan risiko tertangkap aparat dan mendapat sanksi setimpal. Sanksi itu, ya termasuk cemoohan dari masyarakat.

Di sisi lain, kelompok kedua adalah masyarakat tersebut.Masyarakat yang sangat memimpikan berakhirnya pandemi. Meski telah lelah menahan diri untuk menetap di rumah dan mematuhi segala protokol kesehatan, mereka dibuat kesal dengan adanya berbagai pihak yang masih nakal melanggar aturan, menciptakan kerumunan yang berpotensi memperparah penularan virus.

Buat masyarakat yang sudah menantikan hidup tanpa Covid-19, kasus-kasus pelanggaran pembatasan sosial itu bagai dosa tak termaafkan. Mereka tak memandang denda uang dan sanksi yang diberikan aparat pada pelakunya cukup sebagai ganti.

“Halah, 50 juta mah kecil buat bisnis macam Holywings. Semalem aja omzetnya berapa juta. Kaga ada artinya bayar segitu. Tuh buktinya langsung dibayar. Lagian mereka emang salah kok, ngapain dibelain.”

Kira-kira logika tersebut yang kerap hadir di pikiran masyarakat jika ada pihak yang berempati dengan bisnis usaha hiburan yang terjebak kasus pelanggaran prokes.

Para pengusaha tempat hiburan dan masyarakat yang sudah jengah akan kondisi pandemi, dualitas antara kedua kelompok ini seolah menjadi sorotan utama yang masuk dalam bingkai berbagai pemberitaan mengenai pembatasan sosial. Audiens dibiarkan berpikir bahwa apa yang terjadi dalam isu ini adalah sebatas perdebatan mengenai “pelanggaran” dan “sanksi yang layak”.

Logika tersebut terlihat dari pemilihan kata-kata yang digunakan beberapa media dalam penulisan judul berita. Misalnya, judul “Hollywings Kemang Langgar PPKM, Luhut: Tutup” atau “3 Kali Langgar Prokes, Holywings Kemang Ditutup Selama PPKM” dipakai untuk meng-highlight perdebatan tentang pelanggaran. Atau judul-judul seperti “Sesuai Arahan Anies, Holywings Kemang Cuma Ditutup Sementara”, “Sanksi Holywings Kemang Dinilai Tak Sebanding Dengan Kasus Rizieq”, dan “Batas Sanksi Holywings Kemang Diminta Tak Diperdebatkan” menjadi highlight dari perdebatan tentang sanksi yang layak.

Isu-isu mengenai pelanggaran dan sanksi yang layak terus-menerus ditekankan dan menjadi fokus pola artikel. Beberapa berita lain yang membahas kasus ini hanya mengenai kesalahanpahaman ucapan Anies Baswedan yang diklarifikasi oleh wakilnya. Penjelasan itu pun masih terkait pembahasan sanksi. Selebihnya, beberapa media malahan memanfaatkan momentum ini untuk menaikkan trafik portalnya dengan menggunakan kata kunci Holywings pada judul yang membahas trivia-trivia tak terkait kasus. Misalnya membahas pose keren head chef yang jago masak atau kisah Hotman Paris yang pernah sempat ingin membeli sahan kafe bar itu.

Pembahasan utama kasus ini masih hanya bermuara pada tindak pelanggaran dan sanksi yang layak. Dan jelas-jelas, bahasan ini hanya melibatkan dualitas antara pengusaha usaha hiburan dan masyarakat yang aktif menentang pembukaan usahanya. Padahal selain dua grup ini, ada satu pihak yang patut diperhatikan namun berujung terabaikan. Pihak tersebut tak lain dan tak bukan adalah para buruh atau pekerja yang mengais rezeki melalui arena-arena hiburan.

Hak Pekerja pada Masa Pandemi

Mungkin para pemegang saham atau pemilik usaha-usaha hiburan besar yang dapat hukuman karena melanggar PPKM tidak terdampak masalah dengan beban denda puluhan juta yang harus dibayarkan. Penghentian kegiatan operasional hingga tenggat waktu tertentu pun barangkali masih mampu mereka tutupi dengan segala keuntungan yang diperoleh jauh sebelum pandemi menyerang. Namun apa kabar para buruh yang sumber penghasilannya hanya dari langkahan kaki dan cucuran keringat di tempat tersebut setiap hari?

Sebagai contoh, salah satu teman dari penulis yang berprofesi sebagai anggota grup musik yang rutin bermaindi Holywings beberapa kali menyampaikan keluhannya. Penutupan sementara dan pembatasan jam operasi tempat hiburan ini yang telah terjadi pada masa-masa pembatasan sosial sebelumnya saja sudah membuatnya kelimpungan. Apalagi kini tempat manggungnya sudah kena kasus besar. Rencana-rencana mengumpulkan uang dari bermusik setiap minggunya harus sirna di depan mata.

Padahal dalam sebuah modul yang dipublikasikan pada tahun 2020, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatatkan bahwa pekerja memiliki hak-hak yang dipahami sebagai kewajiban negara untuk membuat kebijakan yang secara progresif memperluas kesempatan atau lapangan kerja. Pekerja yang dimaksud di sini meliputi setiap orang yang bekerja, baik menerima upah ataupun bekerja secara independen. Serta mencakup mereka yang bekerja di sektor formal dan menerima upah rutin, maupun para pekerja musiman, pekerja mandiri, ataupun pekerja informal (ICJR, 2020).

Nyatanya, sejauh ini, para punggawa negeri seperti tak siap dengan serangan. Berdalih harus ada hal-hal yang dikorbankan untuk mengakhiri pandemi, penegakan hukum malah lebih banyak membawa kemalangan bagi mereka yang minim modal untuk bangkit kembali. Para pekerja arena hiburan yang aktivitas mencari uangnya terpaksa terhenti kini bagai tersesat, tak lagi punya sarana dan kesempatan untuk menyulap kemampuannya menjadi rupiah.

Sebenarnya sebagai respons dari dampak pandemi terhadap dunia usaha kerja, ILO telah menyusun suatu model kerangka kebijakan ‘empat pilar’ dengan berdasar pada standar-standar perburuhan internasional, yang sekaligus mengintegrasikan kerangka jaminan hak-hak pekerja. Tidak terkecuali bagi mereka yang bekerja di arena hiburan. Salah satu dari empat pilar tersebut, yakni pilar kedua meliputi dukungan terhadap perusahaan, pekerjaan, dan pendapatan. Salah satunya dengan melakukan perluasan perlindungan sosial untuk semua.

Selain itu ICESCR (dalam ICJR, 2020) juga mengeluarkan beberapa rekomendasi terkait perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja. Salah satu hal yang direkomendasikan adalah bagaimana negara harus mengambil langkah segera demi melindungi pekerjaan, jaminan, ataupun asuransi sosial dari para pekerja pada masa pandemi. Namun hingga kini kerangka dan rekomendasi masih saja jadi wacana semata. Belum ada langkah masif yang secara signifikan membantu para buruh keluar dari kelamnya dunia pengangguran.

Pers sebenarnya bisa saja mengangkat isu ini sebagai muara dari kasus-kasus pelanggaran pembatasan sosial pada masa pandemi di arena hiburan. Setidaknya hal tersebut akan menyadarkan masyarakat pada pihak lain yang terdampak. Selebihnya, kita bisa berharap isu tersebut diperbincangkan dan sampai ke telinga pemerintah untuk kembali dipertimbangkan solusinya.

Masalahnya media-media kita masih asyik mengarahkan kamera dan mikrofonnya pada pertarungan dua kubu yang sebelumnya dibahas. Entah memang murni kelupaan detail cerita lainnya mengenai para buruh, atau karena fokus yang sedang dibahas lebih seru digoreng dan mengandung drama perpolitikan?

Referensi

ICJR. (2020). Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Hak-Hak Pekerja: Sebuah Panduan Akses Terhadap Keadilan. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform.

Feminisme dalam Film Adaptasi The Little Prince

Pada tengah akhir tahun 2015, dunia perfilman kedatangan satu lagi kisah animasi. Ialah The Little Prince, sebuah kisah dengan nuansa petualangan yang memberi amanat berkesan tentang kehidupan. Tak ayal, meski dikategorikan sebagai cerita anak, kisah ini mampu menyentuh hati para pembaca dari lintas kalangan dan bahkan usia.

Bagi sebagian orang kisah ini sebenarnya sudah tidak asing, karena lebih dari tujuh puluh tahun selepas kisah mahakarya Antoine de Saint-Exupery ini hadir di dunia literatur. Saya sendiri secara pribadi telah akrab dengan kisah ini sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Buku dengan judul asli Le Petit Prince pertama kali diterbitkan secara resmi pada tahun 1943 dan pada buku cetakan terbarunya di tahun 2016, disebutkan bahwa ia telah disadur ke dalam 230 bahasa asing. Hingga Mark Osborne pada akhirnya mengadaptasi buku ini ke dalam bentuk film.

Menuai tidak sedikit pujian masyarakat karena dianggap menawarkan adaptasi yang cemerlang, saya justru tertarik dengan perkembangan cerita dalam film ini yang cukup memberikan jenjang dengan kisah aslinya dalam buku. Cukup berbeda dengan bukunya yang sebatas berisi pengalaman pemuda petualang yang bertemu dengan seorang pangeran cilik dari planet lain, film The Little Prince menghadirkan seorang wanita cilik, yang bahkan dimajukan sebagai peran utama, sebagai sosok teman pemuda tersebut (yang dalam film terkait digambarkan telah menjadi seorang kakek) dan pada akhirnya menyelamatkan dan membantu si pangeran dalam menghadapi berbagai rintangan dalam petualangan.

Kehadiran anak ini, ditambah dengan sosok ibu yang selalu ada dalam kehidupannya. Dikisahkan bahwa sosok ibunya ini membesarkan wanita cilik ini seorang diri, bekerja sebagai business woman yang disimbolkan dengan penampilannya sepanjang film yang dibalut rok pensil dan kemeja berbalut blazer. Sementara ayah dari si tokoh utama digambarkan secara minim sebagai pekerja nomaden (yang tidak dijelaskan apa profesinya), berpindah-pindah dari negeri satu ke negeri lain, dan tidak memiliki banyak waktu untuk bertemu dengan keluarganya. Ia ‘membayar’ peran ayahnya dengan cara selalu mengirimkan cindera mata sebagai permintaan maaf karena tidak dapat pulang.

Melalui berbagai medium, telah sejak lama wanita dikonstruksikan sebagai kelompok yang berperan pasif dalam institusi keluarga. Istri diposisikan untuk selalu berada di dapur atau mengurus anak dan urusan rumah tangga lainnya, yang sudah pasti dilakukan di rumah. Penggambaran sosok ibu dari wanita cilik ini sebagai single parent merupakan sebuah hegemoni tandingan yang berusaha diselipkan oleh Mark, bahwa pada realitasnya wanita mampu melakukan lebih dari yang diekspektasikan stereotipenya selama ini.

Dua poin sekaligus, karakter utama baru yang diserahkan pada wanita cilik, dan sosok ibunya yang membesarkannya seorang diri sebagai single parent, menghadirkan nuansa feminin dalam kisah yang orisinilnya justru didominasi sosok-sosok pria.

Mark menyisipkan pesan feminisme dalam adaptasi kisah yang telah eksis sejak lama melalui perkembangan cerita yang cukup apik. Sebenarnya telah banyak sekali hegemoni tandingan yang disajikan oleh para pejuang kelompok minoritas, dalam hal ini wanita, melalui berbagai media. Salah satunya adalah melalui film, baik memang dimaksudkan bersifat transnasional maupun dengan menyelipkan nilai-nilai tertentu dalam film. Namun dibandingkan menciptakan film yang sama sekali baru, Mark justru memanfaatkan karya yang telah dikenal khalayak luas untuk menanamkan pandangan tersebut.

Metode ini tentunya masih terasa cukup baru dalam proses produksi media transnasional. Penulis menganggap tren ini mungkin bisa terasa sebagai angin segar bagi para pejuang kelompok minoritas, sebuah pilihan yang lebih sederhana dibandingkan memroduksi cerita yang sama sekali masih baru. Namun tentunya kisah orisinilnya masih tetap harus terjaga. Jangan sampai strategi ini malahan membuat penggemar yang awalnya telah loyal dan mencintai bukunya justru tidak terpuaskan dan menganggap perkembangan plot ini merusak cerita aslinya.

Referensi:

Saint-Exupery, Antoine de. 2011. Le Petit Prince. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Screening:

The Little Prince (2015), film adaptasi oleh Mark Osborne

Ketidaksetaraan : Salah Siapa?

Seorang guru olahraga berkata kepada seorang murid laki-lakinya yang baru saja menendang bola sepak, “Pelan banget nendangnya kayak cewe! Selanjutnya lebih keras lagi!”

Adegan tersebut terasa familiar dengan keseharian kita. Sudah sering rasanya kita melihat percakapan maupun aktivitas yang memperlihatkan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya bertindak. Namun ada perbedaan: laki-laki dituntut untuk tidak berperilaku seperti perempuan; ia akan dikucilkan dan diolok-olok, tapi jika perempuan berperilaku seperti laki-laki seakan lebih diampuni. Hal ini memperlihatkan adanya ketidaksetaraan antara keduanya, laki-laki dianggap lebih tinggi posisinya sehingga tidak boleh turun ‘tahta’.

Contoh tersebuh hanyalah salah satu contoh inequality yang telah terstruktur di masyarakat. Sebenarnya tidak hanya menyangkut laki-laki dan perempuan, banyak sekali ketidaksetaraan yang terjadi. Yang tersering ada pada tiga tataran, yaitu kelas, ras, dan jender.

Akhirnya muncul pertanyaan; bagaimana ketidaksetaraan antar berbagai kelas, ras, dan jender, yang seringkali merugikan kerugian pada kubu tertentu, ini masih terus berjalan hingga kini? Siapa yang bertanggung jawab atas konstruksi stereotipe kita akan suatu kelompok? Apakah ini murni karena pengaruh-pengaruh di luar diri kita, seperti hegemoni dari significant others serta terpaan media? Jawabannya tidak. Nyatanya fenomena structured inequality ini terkait erat dari teori strukturasi Anthony Giddens. Giddens mengartikan tindakan seseorang sebagai akibat dari produksi dan reproduksi dalam sebuah sistem terstruktur, serta hasil dari interaksi antara struktur dan agen itu sendiri. Kedua aspek tersebut, agen dan struktur, saling memengaruhi dan bahkan mampu saling merubah melalui interpretasi (penafsiran akan suatu perilaku), fasilitas kekuasaan (power), dan norma-norma dan aturan berlaku. Jadi bukan hanya sistem dan faktor eksternal yang memengaruhi kita, namun juga diri kita sendiri.

lightfoot

Film dokumentasi The Celluloid Closet (1995) arahan Rob Epstein dan Jeffrey Friedman cukup menggambarkan keterkaitannya. Dalam filmini, penonton digiring untuk melihat bagaimana kelompok LGBT diposisikan tersembunyi di layar sinematografi. Dengan tersembunyi, berarti diperlihatkan bagaimana mereka bersikap dan berperilaku, namun tidak dibuat jelas seksualitasnya. Tidak jarang juga mereka digambarkan secara negatif seperti pedofil, atau pemburu perawan. Kematian mereka pun digambarkan hanya memiliki dua pilihan: dibunuh secara brutal atau bunuh diri.

Meskipun kini sudah lebih diterima, isu LGBT masih menjadi ketakutan, baik bagi para penonton sebagai agen yang menerima terpaan, maupun para pembuat film sebagai bagian struktur yang memiliki hak mengimlementasi konsep. Para pembuat film masih ragu untuk menampilkannya, meski di sisi lain, kelompok LGBT itu sendiri haus akan representasi mereka di media. Salah satu kasus dalam dokumentasi ini memperlihatkan bagaimana sebuah film harus menghilangkan kisah homoseksual ketika ditulis ulang, karena khawatir aktor yang memerankan tidak ingin terlibat dalam film karena ketakutan dicap sebagai gay. Kecemasan ini didukung pula dengan kondisi penonton mayoritas heteroseksual yang banyak mengecam film dengan tema LGBT.

Dalam kasus ini terasa bagaimana interpretasi sekelompok agen memengaruhi sistem yang ada. Stereotipe yang telah terbentuk dan terkonstruksi sejak lama, secara sengaja atau pun tidak, diamalkan secara berulang lewat berbagai tindakan sehingga memberikan dampak pada struktur yang sedang berjalan. Suatu struktur tidak harus berwujud, namun yang terpenting melingkupi si agen. Interpretasi kelompok heteroseksual sebagai mayoritas terhadap kelompok LGBT, atau bahkan interpretasi kelompok LGBT terhadap diri mereka sendiri, didukung kekuasaan dari pihak luar (media, lingkungan, sistem edukasi), menuntun bagaimana mereka kembali direpresentasikan.

Agen dan struktur merupakan dualitas yang tidak terpisahkan. Perpaduan keduanya memengaruhi tindakan seseorang. Begitu pula dengan seseorang, meliputi stereotipe yang ada di kepalanya, dan faktor-faktor eksternal, seperti terpaan media dan hegemoni lingkungan dan keluarga. Perilaku kita, yang tak jarang menggambarkan stereotipe yang ada, memengaruhi bagaimana kita melihat media dan lingkungan. Sebaliknya media dan faktor-faktor struktural di luar diri kita pun memiliki peran mengonstruksi stereotipe. Keduanya saling bersimbiosis dan memengaruhi seperti lingkaran tak berujung. Lalu, masihkah kita bisa menuduh siapa yang salah?

Referensi:

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication, 7th ed. Belmont, CA: Wardsmorth.

Arighi, Barbara (Ed). 2007. Understanding Inequality: Intersection of Race/Ethnicity, Class, and Gender.

Screening:

The Celluloid Closet (1995), film dokumentasi arahan Rob Epstein dan Jeffrey Friedman.

Representasi dan Stereotipe

Mendengar ‘Amerika Serikat’, kebanyakan dari kita akan membayangkan orang-orang kulit putih sebagai penghuni negara tersebut. Padahal sebenarnya masih ada beberapa ras lain yang menduduki tanah tersebut yang keberadaannya salah satunya dapat terlihat melalui media populer seperti TV, film, dan musik. Ironinya, melalui media-media ini tergambar pula bagaimana ras Amerika-Eropa, atau yang sebelumnya disebut dengan kulit putih, mengopresi kehadiran ras-ras lain yang menjadi minoritas.

Studi di akhir abad ke-20 memperlihatkan hanya dua dari sepuluh anak-anak kelompok ras Amerika Latin dan Amerika-Asia, dan empat dari sepuluh kelompok ras Amerika-Afrika, yang menyatakan mereka sering melihat kelompok ras mereka di TV; jumlah yang kalah cukup besar dibanding tujuh dari sepuluh anak-anak ras Amerika-Eropa. Ini menjadi salah satu contoh bagaimana kaum-kaum minoritas yang bervariasi tersebut teropresi, seolah media menyatakan bahwa mereka tidak terlalu penting dan menarik.

Selain kuantitas kehadiran dan jam tayang mereka yang sangat minim bila dibandingkan dengan Amerika-Eropa, terjadi juga anihilasi simbolik, yaitu keadaan di mana kemunculan mereka di media-media tersebut diselimuti stereotip atau pesan negatif.

Amerika-India digambarkan sebagai sosok yang selalu menjadi tangan kanan pemeran utama, yang mana adalah seorang Amerika-Eropa (contoh film dan program TV The Lone Ranger). Para aktor dan pemusik Amerika-Asia mengalami kesulitan dalam mengembangkan karirnya jika mereka tidak berdarah multirasial dengan kaum kulit putih. Aktor Amerika Latin yang memiliki ‘wajah Amerika-Eropa’ akan lebih mudah untuk terpilih untuk memainkan peran sebagai Amerika-Eropa, atau ditampilkan sebagai sosok dengan etnik yang tidak dijelaskan dalam film/program.

Kelompok Amerika-Afrika mungkin dapat dikatakan sebagai yang paling teropresi di antara ras-ras minoritas lainnya yang menduduki Amerika Serikat. Sebuah tayangan dokumenasi yang berjudul Ethnic Notions (1986), diproduksi oleh Marlon Riggs, membahas berbagai tekanan yang dialami kaum yang sering diasosiasikan sebagai kulit hitam ini. Setidaknya ada tiga stereotipe besar ras ini yang menjadi pokok tayangan Ethnic Notions: (1) jelek, (2) kelompok primitif yang liar, dan (3) pelayan/pembantu yang loyal dan bahagia.

Meskipun pada kenyataannya tidak semua, namun kaum ini disudutkan dengan penggambaran fisik yang jelek: memiliki kulit hitam pekat, bibir yang tebal, gigi dan mata melotot yang sangat putih dan kontras dengan kulitnya. Sosok yang berseberangan dengan figur yang dianggap ideal ini disukai sebagai lelucon oleh masyarakat di sana. Tak ayal mereka seringkali tampil sebagai pemeran komedi yang suka melempar kelakar, senang bernyanyi dan menari, dan berkelakuan konyol, atau bahkan bodoh.

Kaum kulit hitam juga seringkali digambarkan sebagai suku primitif yang liar. Mereka diperlihatkan menutupi bagian vital tubuh mereka dengan pakaian yang minim, atau bahkan hanya dedaunan, dan seringkali dilengkapi dengan tombak di tangan masing-masing.

Selain itu, yang masih seringkali kita temui di layar kaca hingga hari ini, adalah bagaimana mereka hampir selalu diposisikan sebagai seorang pesuruh/pembantu rumah tangga yang sangat setia dan bahagia dalam melayani tuan dan nyonya rumahnya. Sosok ini biasanya digambarkan dengan figur wanita kulit hitam berbadan tambun.

Ketiga stereotip ini ditampilkan di berbagai media, dari mulai televisi, film, buku anak, dll. Tidak hanya dalam pertunjukan dan dimainkan secara nyata, namun juga dalam berbagai tayangan kartun. Dan di sinilah ancaman terbesar muncul sebagai dampaknya.

Bahkan seorang dewasa pun, bila tidak mempelajari literasi media, mungkin akan terhanyut bila disuguhkan tayangan atau media-media yang rasis seperti ini. Bukan hanya audiens kulit putih, bahkan kelompok minoritas itu sendiri akan merasa pasrah karena terbiasa dan percaya bahwa yang ada di media sebagai sesuatu yang normal.

Apalagi bila audiensnya anak-anak. Stereotipe yang secara tersembunyi disisipkan dalam berbagai kartun dan buku cerita perlahan tertanam dalam pikiran anak-anak. Sehingga dikhawatirkan, atau mungkin sudah terjadi, anak-anak akan tumbuh pribadi yang akrab dengan tindak diskriminasi terhadap kelompok etnik berbeda, khususnya minoritas.

Untuk itulah kemudian literasi media dan peran orangtua terkait media-media yang menyentuh dan digunakan anak lebih ditekankan. Orangtua tidak dapat lengah dengan hanya mendampingi anaknya pada program berlabel BO (Bimbingan Orangtua), karena ternyata pada tayangan yang diperuntukkan khusus bagi anak sekalipun masih banyak nilai-nilai negatif yang mungkin perlu dihindari.

Referensi

Holtzman, Linda and Leon Sharpe. 2014. MEDIA MESSAGES: What Films, Television, and Popular Music Teach Us About Race, Class, Gender, and Sexual Orientation. New York: M.E. Sharpe.

Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practice. London: SAGE Publication.

Ethnic Notions (1986), dari https://www.facinghistory.org/videos/ethnic-notions.

Resensi: Lost in Translation (2003)

Berada seorang diri di suatu tempat asing, di mana orang-orang berbicara dengan bahasa yang kita tidak mengerti, tentunya akan membuahkan kesepian, terutama bila kita tidak menikmati apa yang kita lakukan. Namun bagaimana jika di tempat itu kita bertemu dengan seseorang yang mengerti bahasa kita dan mau meluangkan waktu bersama?

Pengalaman inilah yang dialami oleh Bob Harris (Bill Muray), seorang bintang film Amerika, di tengah jadwalnya membintangi iklan sebuah produk whiskey di Jepang. Kelelahan menempuh kehidupan sebagai selebritis serta kendala perbedaan budaya dan bahasa dalam melakukan pekerjaannya di negeri sakura membuat dirinya penat. Dunia hiburan membuat Bob seolah jadi boneka rusak, menghabiskan waktu untuk melucu demi tawa penonton, namun nyatanya di kehidupan sebenarnya terlalu lelah untuk menjadi seorang yang lucu dan menyenangkan. Hatinya beku oleh kepurapuraan yang terus dilakoni. Pernikahan yang telah lama dijalaninya seakan terasa kian hambar sebagai akibat kesibukannya bekerja dan istrinya sebagai ibu rumah tangga. Keberadaan anak-anak seakan menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan. “Do I have to worry about you, Bob?” tanya istrinya lewat telepon, seraya sibuk mengurus anaknya, yang kemudian hanya dijawab datar oleh Bob, “Only if you want to.

Di hotel yang sama dengan tempat Bob menghabiskan waktunya, tinggal seorang wanita muda yang menyimpan keresahan yang tak jauh berbeda. Charlotte (Scarlett Johansson), istri seorang fotografer yang sedang bertugas di Jepang, menghabiskan hampir seluruh waktunya sepanjang hari menyendiri di kamar. Suaminya meninggalkannya setiap pagi, seakan terlalu asyik bekerja dan khawatir bila istrinya akan bosan jika diajak turut. Dua tahun pernikahan terlewati, Charlotte meragu jika ini benar-benar kehidupan yang ia inginkan. Penat, ia menyurahkan isi hatinya pada seorang teman di Amerika. “I don’t know who I married.” katanya di telepon. Sayang, temannya juga terlalu sibuk untuk mendengarkan.

Di tengah krisis kebahagiaan yang tengah dialami, bar hotel mempertemukan kedua insan yang sedang mencari pelampiasan kesedihan ini. Berawal basa-basi saling menawarkan minuman, pertemuan mereka berlanjut dengan berbagi kisah hidup  masing-masing di malam-malam selanjutnya.

Charlotte yang telah lebih lama menetap di negeri asing itu, kemudian mengenalkan Bob pada beberapa teman dari Jepang yang mengerti bahasa Amerika. Ditemani teman-teman tersebut, mereka menjelajah ke bar karaoke, klub malam, bahkan sempat mengacau dan dikejar penduduk setempat. Kespontanan kejadian-kejadian di setiap malam yang mereka habiskan bersama menjadi pengalaman tak terlupakan yang kemudian mendekatkan keduanya. Di tengah dunia yang asing bagi mereka, Charlotte dan Bob merasa bisa mengisi kekosongan satu sama lain, hingga dalam tahap saling membutuhkan.

Kedekatan mereka akhirnya merenggang ketika Charlotte mendapati Bob bermalam bersama penyanyi bar hotel, yang mana tidak disengaja karena Bob mabuk sebelumnya. Charlotte kembali merasa sendiri, menyangka Bob sudah bosan menghabiskan waktu bersamanya. Keduanya saling menjauh dan menjadi canggung. Malang bagi mereka, di masa-masa perang dingin itu Bob telah menuntaskan pekerjaannya di Jepang dan harus kembali ke Amerika untuk menghadiri acara sekolah anaknya.

Pada hari keberangkatannya, Bob meninggalkan hotel dengan taksi. Sebelumnya, masih dalam suasana yang canggung, Charlotte mengembalikan jaketnya yang sempat ia pinjamkan saat mereka masih saling akrab. Tanpa banyak kata, wanita itu menyampaikan salam perpisahan. Setelah berpikir cukup dalam, di tengah perjalanan Bob meminta sopir taksi untuk berhenti dan menunggu sebentar.

Bob keluar dari kendaraan itu dan berlari menyusuri keramaian di suatu jalan. Setelah cukup jauh, akhirnya ia menemukan apa yang ia cari, Charlotte. Bahagia terangkum dalam raut wajah wanita yang awalnya terkejut itu. Keduanya berpelukan dan melepaskan segala yang masih mengganjal di hatinya dengan sebuah ciuman, menyelesaikan yang perlu diselesaikan. Akhirnya, sebelum kembali ke taksi, Bob membisikkan ke telinga Charlotte, kata-kata yang tak satu pun tahu kecuali mereka. Sebuah rahasia, serupa dengan pengalaman mereka bersama selama di dunia yang sama sekali asing bagi mereka, memoar harta karun yang kuncinya hanya dimiliki mereka.

Pembelajaran Sosial dan Demonstrasi

Televisi, sebagai salah satu bentuk media massa, memiliki keistimewaan dibandingkan dengan media massa-media massa lainnya.Dibandingkan dengan radio yang hanya menyuguhkan bentuk audio dan surat kabar yang ada dalam bentuk visual, yaitu teks dan gambar-gambar tidak bergerak sebagai penunjangnya, televisi secara lebih komprehensif menyajikan perpaduan antara audio dan visual melalui gambar bergerak dan penjelasan penunjang yang bisa berbentuk teks maupun audio. Dengan kelebihan ini, tentunya televisi memberikan kepada kita pelajaran yang lebih detail, dan memungkinkan kita untuk memahami suatu peristiwa ataupun gambaran sesuatu secara lebih jelas.

‘Kelengkapan’ kemampuan televisi ini salah satunya dapat dihubungkan dengan penyiaran berita dan realitas sosial yang menjadi tugas dari media massa. Terkait dengan soal, berita seperti kerusuhan atau demonstrasi, apabila disampaikan melalui radio ataupun surat kabar, tentunya akan memaksa kita untuk kembali berimajinasi atau membayangkan seperti apa kejadian yang sebenarnya terjadi. Namun melalui televisi, melalui liputan-liputan ke tempat kejadian perkara, tidak meninggalkan kita dalam dunia pengandaian. Televisi memberikan gambaran utuh bagaimana demonstrasi itu terjadi, bahkan disertai penjelasan oleh teks dan reporter stasiun televisi terkait. Akibatnya gambaran kita akan peristiwa demonstrasi akan semakin jelas dan sempurna. Pertanyaannya adalah, apakah pembelajaran yang baik atas kita yang dilakukan oleh televisi ini akan memberikan efek pada kita sebagai audiensnya, terutama apabila tayangan dengan topik/tema yang sama disajikan berulang kali?

Atas pertanyaan ini, penulis menyatakan setuju bahwasanya tayangan-tayangan berita tertentu yang ada di televisi akan memberikan efek pada para audiensnya, terutama apabila disajikan berulang dan di berbagai stasiun televisi, misalnya. Apalagi seringkali tayangan yang disajikan juga memperlihatkan kekerasan yang terjadi pada bentrok antara para demonstran dan aparat pengaman. American Psychological Association (2003) menyimpulkan bahwa heavy viewer dari kekerasan yang didemonstrasikan (dalam televisi) akan meningkatkan penerimaan akan sikap dan perilaku agresif (Wartella : 1998). Namun mungkin derajatnya akan tergantung kepada ideologi atau kecondongan individu terhada isu tertentu, dalam hal ini yaitu tema yang diangkat pada tiap peristiwa demonstrasi (alasan mengapa demonstrasi tersebut dilakukan). Efek untuk menurunnya pembelajaran tersebut ke arah perilaku yang nyata mungkin akan semakin besar apabila perhatian audiens bersangkutan terhadap isu tersebut semakin mendalam.

dmo

Penulis juga menemukan fakta-fakta yang menggambarkan rentetan gerakan demonstrasi dalam selang waktu yang tidak terlalu jauh di tempat yang berbeda-beda, memperlihatkan pengaruh media dalam menuntun audiens untuk melakukan peniruan.

dm

Dari pemberitaan Sindonews.com, dapat kita lihat gelombang aksi buruh yang terjadi secara berentetan. Pada tanggal 20 November 2015, massa buruh tiba di Tugu Proklamasi, Menteng, setelah melakukan aksi jalan kaki (longmarch) dari Bandung ke Jakarta untuk menyuarakan tuntutannya pada Presiden Joko Widodo. Aksi ini kemudian disusul dengan rentetan aksi mogok kerja yang terjadi tanggal 24-27 November 2015. Pada tanggal 24 November 2015, sejumlah massa berkumpul di Jalan Raya Bekasi menuju Pulogadung untuk menyuarakan aspirasi dalam usaha memperbaiki nasib buruh. Di hari yang sama ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera (KSBSI) juga menggelar demonstrasi di depan Mahkamah Agung. Keesokan harinya, 25 November 2015, ribuan buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Upah dan Gabungan Buruh Indonesia, kembali, menggelar unjuk rasa menolak PP 78/2015 tentang pengupahan. Di hari selanjutnya, 26 November 2015, para buruh kembali menjalankan demonstrasi bertempat di berbagai kantor pemerintahan, di antaranya kantor Gubernur DKI Jakarta.Penulis juga menemukan fakta-fakta yang menggambarkan rentetan gerakan demonstrasi dalam selang waktu yang tidak terlalu jauh di tempat yang berbeda-beda, memperlihatkan pengaruh media dalam menuntun audiens untuk melakukan peniruan.

Untuk membuktikan dasar argumen ini, penulis menghubungkan tayangan-tayangan demonstrasi yang terjadi pada televisi dengan Teori Pembelajaran Sosial, yang dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang akan mengalami pembelajaran dalam lingkungan sekitar dirinya.

Teori Pembelajaran Sosial ini sebenarnya merupakan teori berdasar psikologi yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Satu dari asumsi awal yang paling dasar dari teori ini adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang cukup fleksibel dan memiliki kemampuan mempelajari sikap, keahlian, dan perilaku dalam jumlah banyak. Meskipun individu mungkin saja belajar dari pengalaman-pengalaman langsung, kebanyakan justru belajar dengan mengamati individu-individu lain.

Menurut Bandura (1986), media memiliki kemampuan untuk memberikan efek langsung terhadap audiens, dan pengaruhnya tidak melulu harus diperantarai oleh pengaruh pribadi atau jejaring sosial (Bandura : 2002, hlm 140).

Berdasarkan Teori Pembelajaran Sosial, setiap tingkah laku menggunakan gambaran kognitif dan tindakan. Dasar kognitif dalam proses pembelajaran sosial ini sendiri dapat dikelompokkan ke dalam empat tahapan :

1. Perhatian (attention)

Pada tahapan ini individu harus memperhatikan perilaku ‘model’ untuk dapat dipelajari. Perhatian di sini merujuk kepada nilai, harga diri, sikap, dll. Terkait dengan kasus, tahapan ini diasosiasikan pada bagaimana audiens melihat para demonstran melakukan unjuk rasa (bagaimana gerak-gerik, nada suara dalam berdemo). Hanya dengan memperhatikan orang lain, pembelajaran dapat dipelajari (Bandura & Walters : 1963)

2. Ingatan/representasi (representation)

Selanjutnya, individu akan merekam peristiwa tersebut di dalam sistem pikirannya, sehingga apabila suatu saat ia menganggap hal tersebut perlu dilakukan, individu tersebut memiliki titik standar. Sama juga halnya dengan demonstrasi, para audiens akan mengingat seperti apa peristiwa tersebut dan menyimpannya dalam memori untuk memunculkannya kembali bila diingini.

3. Reproduksi gerak (behaviroral production/reproduction)

Setelah memperhatikan dan mengingat, selanjutnya adalah tahapan utama yaitu merujuk pada penerapan tingkah laku itu sendiri. Bagaimana audiens yang terterpa tayangan-tayangan demonstrasi mengalami perlunya melakukan hal serupa dan menunjukkan hasil perhatian dan ingatannya selama ini setelah menonton tayangan. Setelah melihat tayangan tersebut akan muncul rasa tidak mau kalah dalam diri audiens: ‘mereka bisa, kenapa kita tidak bisa?’ Akibatnya demonstrasi akan disusul dengan demonstrasi-demonstrasi selanjutnya.

4. Motivasi (motivation)

Aspek motivasi adalah penting dalam pemodelan teori Bandura ini, karena merupakan hal yang menggerakkan individu untuk melakukan penerapan dalam tahapan reproduksi gerak. Seseorang harus termotivasi agar ia memiliki keinginan untuk melakukan hal yang serupa dengan tayangan-tayangan yang menerpanya sebelumnya. Misalnya pada kasus ini, seorang buruh akan lebih terinspirasi untuk melakukan dan menggalang demo buruh karena sebelumnya melihat tayangan demonstrasi buruh dari kelompok lain, karena merasa memiliki nasib yang sama. Atau bagaimana mahasiswa-mahasiswa seolah berkompetisi menyampaikan aspirasi pada pemerintah melalui unjuk rasa setelah dipelopori salah satu kelompok aktivis universitas tertentu, yang didorong rasa ingin mendukung usaha sesame mahasiswa dalam memperbaiki bangsa.

Pada umumnya dalam era privatisasi media dimiliki dan dikendalikan oleh kepentingan bisnis tertentu, yang memiliki kekuatan cukup besar dalam masyarakat, dan oleh negara secara tidak langsung. Hal ini menyebabkan media memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang cukup besar. Namun Gans (1978, hlm 68) menyebutkan bahwa sifat berita sebenarnya tidak terlalu konservatif ataupun liberal. Hal tersebut sangat mungkin diterapkan secara meluas. Bagaimanapun media memliki komitmen untuk menjalankan tugasnya (yang mereka definisikan sendiri), serta ideologi sebagai perangsang perubahan.

Melalui tayangan-tayangan seperti berita demonstrasi, media bermaksud memperlihatkan sudah bergeraknya masyarakat sebagai khalayak aktif dalam merespons isu-isu yang ada. Lebih lanjut lagi, entah disengaja ataupun tidak, media (terutama televisi) menanamkan ide untuk di kepala para audiens untuk termotivasi melakukan hal serupa demi perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini sebenarnya memberikan dampak positif, namun di sisi lain juga menyentil sisi-sisi negatif. Sebut saja jika dalam suatu tayangan demonstrasi terselip adegan-adegan kekerasan. Apabila tayangan tersebut disajikan berulang-ulang, maka audiens akan menganggapnya sebagai hal yang wajar dan mungkin akan juga mempraktekkannya bila ia melakukan demonstrasi.

Selain itu seringkali demonstrasi juga tidak diiringi kesadaran para demonstran untuk tetap menjaga fasilitas umum. Hal ini tercermin dari seringnya upaya demonstrasi memberi dampak buruk pada lalu lintas kota – yang pada dasarnya sudah buruk. Selain itu, tidak disangkal bahwa seusai terjadinya demonstrasi, yang paling terbebani adalah para petugas kebersihan. Sudah menjadi tugas mereka untuk menjaga jalan-jalan kota untuk tetap bersih. Namun biasanya pasca demonstrasi, sangat banyak sampah yang harus mereka bereskan. Bukan hanya itu, mereka juga harus menunggu hingga demonstrasi tersebut usai, bahkan hingga efek gas air mata sudah tidak terasa lagi sehingga lebih mudah membersihkan sampahnya.

oranye

“Karena abis acara, pasti dah tuh sampahnya banyak,” ujar Suwandi, salah satu petugas kebersihan, dilansir dari salah satu artikel Kompas.com dengan judul Demo Buruh dan Kepulangan yang Tertunda.

Intinya, sebenarnya media, terutama televisi, memiliki kemampuan dalam menjelaskan suatu peristiwa, dalam kasus ini demonstrasi. Dan walaupun televisi tidak terlihat sebagai penyebab utama dari demontrasi ataupun kerusuhan yang mengandung kekerasan tersebut untuk terulang kembali, namun ia sebagai media tetap memiliki pengaruh atas konteks dan bentuk kejadian tersebut, yang memungkinkan audiensnya untuk mempelajari dan timbul perasaan kompetitif untuk melakukan hal serupa.  Sehingga dalam menghadapi kepanikan dan kekacauan sipil ini solusi yang paling tepat terhadap bahaya tersebut adalah berupa kontrol dan blokir berita (Paletz & Dunn : 1969). Dengan kata lain diperlukan adanya batasan dalam penayangan peristiwa-peristiwa yang berada dalam lingkup topik yang sama.

Referensi

Cetak :

Feist, Gregory J. & Jess. Theories of Personality (6th Edition). McGraw-Hill Education. New York : 2006

McQuail, Denis. McQuail’s Mass Communication Theory (6th  Edition). SAGE Publication. London : 2010

Nabi, Robin L. & Oliver, Mary B. (Eds). The SAGE Handbook of Media Processes and Effects. SAGE Publication. California : 2009

Publikasi Elektronik :

Demo Buruh dan Kepulangan yang Tertunda, diakses dari http://megapolitan.kompas.com/read/2015/10/31/10575001/Demo.Buruh.dan.Kepulangan.yang.Tertunda

Demonstrasi Buruh, diakses dari http://metro.sindonews.com/topic/1791/demonstrasi-buruh

Sinema Ketiga (Sinema Transnasional)

Sebutan Sinema Ketiga pertama kali muncul di tahun 1969 pada artikel Fernando Solanas dan Octavio Getino yang berjudul Towards a Third Cinema.

Di sini dijelaskan dua alasan mengapa ia disebut Sinema Ketiga:

  1.  Meliputi negara-negara di luar kubu dominan – Blok Timur dan Barat, yaitu yang tidak termasuk ke dalam negara-negara berkembang.
  2. Membedakan dengan Sinema Pertama (Hollywood) dan Sinema Kedua (Sinema seni Eropa, dan Sinema Auteur). Solanas dan Getino menganggap Sinema Ketiga sebagai perlawanan terhadap Sinema Barat yang dominan dan cenderung berorientasi pada komersialitas semata.

tercer-cine

Istilah ‘Dunia Ketiga’ pertama kali muncul pada tahun 1952, sebagai hasil dari Perang Dingin, merujuk pada negara-negara yang tidak selaras dengan dua kubu besar yang ada (Amerika Serikat dan Uni Soviet). Saat itu istilah Dunia Pertama mengacu pada ekonomi Barat, sedangkan Dunia Kedua pada Uni Soviet dan sekutunya. Sementara Dunia Ketiga berlaku untuk ekonomi semua benua dan negara di luarnya – kecuali negara-negara yang setelah Perang Dunia Kedua disebut rim Pasifik barat (Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Thailand, dan Malaysia) karena rim Pasifik merupakan bidang ekonomi buatan Amerika Serikat untuk memastikan etos kerja Barat dalam melawan ancaman komunis (Cina dan Uni Soviet). Lewat analogi ini, didapatlah dengan istilah Dunia Ketiga, Sinema Dunia Ketiga mengacu pada sinema dari benua Afrika, wilayah Timur Tengah, tanah India, wilayah Cina dan Asia, dan Amerika Latin.Dunia Ketiga

Salah satu permasalahan utama pada sinema yang dikembangkan oleh negara-negara Dunia Ketiga ada pada segi finansial. Tidak semua negara Dunia Ketiga bertanggung jawab atas pendanaan perfilman negaranya. Sebagai contohnya, pada tahun 1959 Fidel Castro membentuk Institusi Seni dan Industri Sinematografi Kuba dan mendesak pembuatan film dokumenter dan feature dengan tujuan menempatkan Kuba pada panggung internasional. Alhasil dalam hitungan detik, bantuan dari beberapa negara Afrika berdatangan dalam praktik pembuatan film mereka, kebanyakan dalam bentuk pelatihan. Di Ghana infrastruktur pembuatan film kolonial digunakan untuk membangun industri film yang sedang berjalan.

The Third (World) Cinema?

Adanya dua alasan penyebutan Sinema Ketiga (geografis dan urutan sinema) menjadi perhatian banyak tokoh sinematografi, salah satunya Teshome Gabriel pada bukunya, Third Cinema in the Third World : The Aesthetic of Liberation. Gabriel berpendapat bahwa yang menentukan apakah suatu film termasuk dalam Sinema Ketiga bukanlah di mana dan siapa pembuat film tersebut, tapi lebih kepada ideologi film itu sendiri, yang mana ada dalam posisi menentang imperialisme dan opresi kelas dalam manifestonya. Tanpa bermaksud menentang argumen dari Gabriel, Willemen pada bukunya The Question of Third Cinema (1989) menyatakan ketakutannya akan posisi Sinema Ketiga. Willemen berpendapat bahwa homogenisasi internasional yang dilakukan pada pendefinisian Gabriel akan Sinema Ketiga akan menyamarkan fakta bahwa sebenarnya sinema bersifat nasional dan regional (membentuk bangsa).  Sehingga timbul kekhawatiran bahwa Sinema Ketiga dapat ‘dicuri’ dan diadaptasi pada Dunia Pertama (atau bahkan Kedua).

Lalu di manakah sebenarnya posisi Sinema Ketiga? Apakah sinema dari setiap negara atau wilayah yang berada di Dunia Ketiga selalu disebut Sinema Ketiga? Atau, apakah untuk mendapatkan gelar Sinema Ketiga, suatu karya harus berasal dari Dunia Ketiga? Jawabannya tidak. Pendefinisian berdasarkan Dunia Ketiga atas Sinema Ketiga hanya dikarenakan awal lahirnya sinema ini – karena pada dasarnya yang banyak mengalami ‘penindasan’ oleh kaum dominan pada saat itu adalah negara-negara Dunia Ketiga di pascakolonialisme. Sebenarnya yang lebih penting dalam Sinema Ketiga adalah posisi yang membedakannya dengan dua sinema sebelumnya, terutama untuk menentang Sinema Pertama. Ketika Sinema Pertama (Hollywood) semata-mata bertujuan komersialitas, dan Sinema Kedua (Auteur) bertujuan menunjukkan jati diri sang sutradara, Sinema Ketiga membawa misi, yaitu ideologi dan pesan untuk disampaikan. Sinema Ketiga merupakan sinema yang memiliki komitmen dalam konfrontasi langsung pada sistem sosial dan politik dan sinematik sementara Sinema Pertama dan Kedua tidak. Sinema kedua/auteur memang menantang   praktik film mainstream, tapi belum tentu berkomitmen membawa perubahan mendalam.

Apa yang Ingin Disampaikan Sinema Ketiga?

Sinema Ketiga terlahir karena ketidaknyamanan atas dominasi kapitalisme terhadap khalayak. Hal ini dapat kita lihat melalui ajaran kritis Marxis. Karl Marx menjelaskan bahwa masyarakat terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kaum kapital (elit) dan kaum proletar (pekerja), serta terbagi atas dua struktur pula, yaitu base (modal, pabrik, tanah) dan superstructure (ideologi dan keyakinan). Gagasan Marxis melihat adanya dominasi kelompok tertentu, bagaimana kaum elit selalu berusaha mendominasi kedua struktur tersebut. Namun perhatian lebih ditujukan pada struktur base. Marx menilai bahwa superstructure akan selalu mengikuti base.

Gagasan Marxisme ini kemudian dikembangkan lagi menjadi Neo-marxisme. Sebenarnya keduanya sama-sama berdiri untuk melawan dominasi kelompok tertentu. Namun, jika Marxis lebih mengutamakan perhatian base dibandingkan superstructure, Neo-marxis sebaliknya. Menurut ajaran ini, kekuasaan elit sangat bergantung pada ideologi yang disebarkannya.

Kehadiran Sinema Ketiga seolah menjadi jembatan yang tepat untuk menyampaikan kedua gagasan ini, baik Marxis maupun Neo-Marxis. Sinema Ketiga ingin menyadarkan audiensnya untuk menyadari realitas bahwa terdapat kaum marjinal yang terus didominasi dan dieksploitasi, baik dari segi base maupun superstructure, oleh kaum elit. Bagaimana kaum borjuis terus menindas kaum pekerja, atau bagaimana kaum marjinal terus ditekan kaum dominan. Kelompok marjinal di sini tidak hanya merujuk kepada kaum pekerja yang tertindas oleh dominasi elit, namun juga merujuk kepada kelompok lain yang terpinggirkan, seperti homoseksual, etnis minoritas, dll.  Inilah mengapa Gabriel (1982) melihat tema besar Sinema Ketiga adalah isu-isu kelas sosial ekonomi (base), etnis, budaya, agama, seks, dan integritas nasional (superstructure).

Di antara teori-teori kritis yang berakar dari Marxisme, terdapat Mazhab Frankfurt yang memfokuskan kajiannya terhadap media dan industri budaya. Adorno mengembangkan gagasan Horkeimer dengan menunjukkan perlawanannya terhadap produk-produk industri budaya yang disediakan oleh kaum kapital. Adorno, salah satu tokoh mazhab ini, melihat bahwa industri budaya melahirkan standardisasi budaya populer yang akhirnya mempengaruhi standardisasi khalayak. Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan kebutuhan palsu dan konsumerisme berlebihan. Beberapa tokoh Mazhab Frankfurt berpendapat bahwa media modern membuat intelektual Eropa tersingkirkan. Terkait dengan pendapat Adorno ini, Marcuse (1964) mengibaratkan masyarakat modern sebagai one dimensional man : orang-orang yang kehilangan daya pikir kritis dan dengan mudahnya menerima saja kesadaran palsu untuk melakukan konsumsi masal, yang ditanamkan oleh pedagang, iklan, dan egaliter palsu.

Gagasan yang dinyatakan Adorno sangat terkait dengan posisi Sinema Ketiga dalam melawan Sinema Pertama yang sangat bernapaskan kapitalisme. Kaum elit terus mengais perekonomiannya dengan menebarkan kesadaran dan kebutuhan palsu pada khalayak, yang berujung pada perilaku konsumerisme yang berlebihan.

Bagaimana Pesan itu Disampaikan?

Ideologi yang ingin disampaikan oleh sebuah produk Sinema Ketiga biasanya digambarkan dengan adegan-adegan dan narasi yang menunjukkan terjadinya ketidaksetaraan antar kelompok yang ada di masyarakat. Misalnya penindasan si kaya terhadap si miskin, atau tekanan dari etnis dominan tertentu terhadap etnis yang termarjinalkan (Contoh: dominasi kulit putih terrhadap kulit hitam).

Untuk melawan suatu kelompok dominan, kaum marjinal harus memiliki kekuatan untuk melakukan hegemoni tandingan. Kekuatan itu di antaranya bisa diciptakan dengan memberikan penekanan pada identitas kaum itu sendiri. Pada sebuah film, identitas dapat disalurkan lewat budaya-budaya tertentu yang menjadi ciri khas suatu kelompok, misalnya pakaian adat, setting tempat, dialek, atau bahkan tari-tarian dan lagu kedaerahan.

Sinema Dunia Ketiga yang Termasuk Sinema Ketiga

Dikarenakan masa lalu yang terpuruk akibat penjajahan, tentunya beberapa wilayah atau negara Dunia Ketiga juga merasakan dampak marjinalitas dan memiliki tekad untuk melawannya. Oleh karena itu, meskipun tidak semuanya termasuk ke dalamnya, namun beberapa menunjukkan indikasi Sinema Ketiga, yaitu memiliki ideologi sosial dan politik yang ingin disampaikan.

Meskipun memiliki beberapa perbedaan, nyatanya sinema negara-negara Dunia Ketiga sama-sama memiliki hasrat untuk menggambarkan efek-efek kolonialisme, neo-kolonialisme, serta pengecualian dan penindasan.

Umumnya, negara-negara Dunia Ketiga tidak memiliki industri film yang utuh seperti Hollywood dan beberapa sinema Eropa (kecuali Brazil, Argentina, India, Pakistan, Cina, dan Mesir). Namun beberapa film memiliki resonansi politik. Film-film inilah yang terhitung Sinema Ketiga. Nuansa politik yang dihadirkan film-film Sinema Ketiga bisa bervariasi :

  1. Pembuatan statemen politik yang berhubungan dengan negara sendiri, baik secara langsung maupun melalui kiasan.
  2. Bergaya politik dan menyasar sinema mainstream nasional sebagai target.
  3. Statemen yang menentang praktik film dominan di luar negaranya, secara langsung atau tidak.

Pada tahun 1960-an, sinema negara-negara ini telah konsisten dalam posisi oposisi terhadap praktik penjajahan film Barat. Karena membanjirnya produk-produk Amerika dan Eropa di negara-negara Dunia Ketiga dengan pesan-pesan pro-kapitalisnya, dirasakan kebutuhan untuk memproyeksikan realitas yang sebenarnya yang akhirnya terwujud dalam berbagai langkah (sesuai budaya politik tiap negara), serta visi dan kondisi kerja para pembuat film.

Bila kita menyimpulkan secara kesuluruhan, seperti melihat Eropa sebagai Sinema Kedua, maka sebenarnya Sinema di Dunia Ketiga, yang memenuhi syarat untuk masuk ke dalam Sinema Ketiga, inilah yang menyusun sebagian besar sinema (dalam hal kuantitas output ataupun penonton). Namun kenyataannya, sinema ini hanya dianggap sub-alternatif dan hanya bayangan dari sinema yang sesungguhnya milik Amerika Utara dan Eropa. Selain itu, pemahaman dunia Barat mengenai Sinema Dunia Ketiga masih sangat buruk dan tidak ada rasa penasaran untuk mengimpor dan mencari tahu sinema ini. Namun sebagaimana negara-negara Barat terus menjadi multikultural, dan studi pada teori dan praktik penjajahan menjadi lebih luas, diharapkan perhatian terhadap Sinema Dunia Ketiga pun ikut berkembang dan lebih banyak tersedia.

Sinema Dunia Ketiga yang Tidak Termasuk Sinema Ketiga

Meskipun beberapa memiliki pesan yang ingin disampaikan, ada juga beberapa produk dari negara-negara Dunia Ketiga yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori Sinema Ketiga. Yang menjadi ciri khas Sinema Ketiga dan membedakannya dengan yang lain adalah bagaimana sinema ini membawa ideologi tertentu sehingga menjadikannya bersifat politis dalam konseptualisasi dengan tujuan memperlihatkan penyebab-penyebab sosialisme dan perlawanan dua sinema sebelumnya, terutama Hollywood. Sementara, tidak semua film-film Sinema Dunia Ketiga melakukan ini.

Misalnya sinema populer di India, sinema hiburan yang disajikan sebagai sarana promosi lagu, artis, dan mitos-mitos India, praktik produksi studio terbesarnya di Bombay nyatanya berdasar dari proses mencontoh Hollywood (Bollywood). Meskipun merupakan salah satu negara Dunia Ketiga, serta memiliki kekuatan di kancah nasional dan menunjukkan budaya-budaya otentiknya, sinema Bollywood ditujukan bukan untuk melahirkan kesadaran khalayak atas kaum yang termarjinalkan.

Sebaliknya, seperti halnya Hollywood, tujuan mereka adalah untuk komersialitas. Oleh karena itu tentunya posisi Bollywood sangat berseberangan dengan tradisi Sinema Ketiga yang jelas-jelas melawan praktik kapitalisme. Inilah sebabnya istilah Sinema Dunia Ketiga digunakan dengan agak longgar, karena tidak semua sinema yang ada dalam payung besar ini sudah pasti termasuk ekonomi Dunia Ketiga. Misalnya, tidak semua negara di Timur Tengah miskin, meskipun wilayah ini termasuk dalam lingkup Dunia Ketiga.

***

Meskipun Sinema Bollywood tidak dapat kita kategorikan dalam Sinema Ketiga, namun ada beberapa karya India yang termasuk ke dalam sinema perlawanan ini. Pada praktik Sinema Ketiga, India memiliki tradisi-tradisi kuat yang dilakukan dalam berbagai filmnya. Mrinal Sen dan Mani Kaul dianggap sebagai tokoh-tokoh pencetus Sinema Baru India, yang juga bersifat perlawanan. Selanjutnya karya Ritwik Ghatak di tahun 1950 dan awal 1960-an juga mengulang perhatian ini dengan cara yang berbeda. Ghatak mencampurkan antara teknik film dokumenter dengan tradisi dan budaya masyarakat sehingga membuat perbedaan fiksi dan fakta menjadi kabur. Misalnya pada trilogi politiknya, Meghe Dhaka Tara, 1960, Koman Gandhar, 1961, dan Subarnareka, 1962, Ghatak menggambarkan kemiskinan dan kondisi pengungsi di Calcutta berdasarkan pengalaman pribadinya menyaksikan pengungsi yang melarikan diri pada tahun 1943. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam satu negara bisa jadi terdapat film yang termasuk ke dalam Sinema Ketiga dan yang tidak.

Globalisasi dan Identitas Kelompok

Tidak dapat disangkal, perkembangan teknologi dan globalisasi yang terjadi sangat memungkinkan terjadinya penyamaran kebudayaan dalam suatu kelompok atau negara. Budaya-budaya tertentu dapat diadopsi secara disengaja ataupun tidak melalui media-media yang ada. Such a junction of culture, politics and economics is not revolutionary in itself. In all countries, works of arts – and nowadays entertainment, too – have always served as carriers for social and political messages and interest (Smiers, 2003 : 34).

Contohnya adalah fenomena k-wave yang disebarkan oleh Korea Selatan. Pada awalnya, Korea Selatan melakukan adopsi budaya lain, yakni Amerika, untuk disisipkan dalam karya-karyanya. Bila diperhatikan, baik dalam musik, sinematografi, dan acara-acara hiburan lainnya, sangat kental dengan teknik dan budaya amerika. Namun setelah mengadopsi ke-Amerika-an ini, mulai tersemat huruf ‘K’ untuk sebutan karya-karya mereka (k-pop, k-drama, dll.), seolah-olah menjadi klaim bahwa karya itu sepenuhnya mengandung identitas Korea Selatan. Dan menariknya, dengan strategi adopsi budaya ini, negara ini berhasil meraih hati banyak audiens dari seluruh dunia dan meraup banyak keuntungan.

Namun nampaknya kesuksesan meraih perhatian dunia ini bukanlah target utama Korea Selatan. Hal ini justru dimanfaatkan untuk menyebarkan kebudayaannya. Tanpa disadari oleh para penikmatnya, pada setiap karya yang dipublikasikannya secara global, Korea Selatan mulai menyelipkan berbagai bentuk identitasnya, misalnya dengan menggambarkan tempat-tempat penting atau bersejarah mereka  di berbagai variety show. Atau bagaimana secara perlahan-lahan karya-karya tersebut membuat audiens semakin akrab dengan bahasa mereka, dan bahkan mulai menggunakannya dalam keseharian.

Budaya-budaya yang tercampur dalam suatu negara karena tantangan era globalisasi memberikan rintangan lain pada sebutan Sinema Dunia  Ketiga. Identitas kelompok yang ingin disampaikan menjadi samar dan tidak orisinil. Dengan demikian, kembali dapat dilihat bahwa status Sinema Ketiga tidak dapat didasarkan pada asal negara atau wilayah geografis film tersebut, atau statusnya sebagai anggota Dunia Ketiga atau bukan, namun ditentukan pada apa yang ingin diceritakan dan dampak yang ingin dibangun oleh kehadiran film tersebut.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang menentukan apakah suatu karya termasuk ke dalam Sineme Ketiga atau bukan bukanlah dari mana karya itu berasal, siapa yang memproduksi, atau status warga negara mana yang dimiliki para aktornya, namun lebih ditentukan oleh isi dari film tersebut.

Sebuah film dapat dikategorikan sebagai Sinema Ketiga karena ia menyampaikan ideologi tertentu. Yaitu bagaimana film tersebut hadir dengan tujuan untuk membangunkan kita dari kesadaran palsu sebagai perlawanan pada kaum elit kapitalis. Sinema Ketiga adalah sebuah upaya untuk menyampaikan ajaran Marxis, bahwa di dalam suatu masyarakat ada dua kelompok yaitu kapital dan proletar, di mana kaum kapital memiliki kekuasaan untuk mengeksploitasi kaum proletar untuk kepentingannya sendiri.

Karena sifatnya yang menentang praktik kolonialisme dan neokolonialisme, mungkin akan muncul anggapan bahwa sinema ini terjadi hanya di masa pasca-kolonial atau beberapa kasus  pasca-revolusioner, dan saat kudeta hingga pasca-kudeta. Padahal sebenarnya tidak juga.  Dalam banyak kasus, Sinema Ketiga adalah sinema yang mengambil waktu hampir bersamaan atau tepat setelah munculnya sinema di Eropa dan Amerika Utara.

Selain Sinema Dunia Ketiga, kita juga tidak dapat melupakan bahwa ada yang disebut Shohat dan Stam (1994, 34) dengan Sinema Dunia Keempat. Dunia keempat yang dimaksud oleh Shohat dan Stam mengacu pada keturunan asli yang masih tinggal di wilayah mereka yang telah diambil alih atau ditaklukkan penduduk lain (misalnya penduduk asli Amerika di Amerika Serikat, asli India di Amerika Latin, Maori di Selandia Baru, Aborigin di Australia – yang mana telah menghasilkan sinema mereka sendiri).

Screening : Motorcycle Diaries (2004)

Film The Motorcycle Diaries (2004) merupakan film produksi internasional bersama di antara Argentina, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Chili, Peru dan Perancis. Film ini juga dirilis di beberapa negara seperti Amerika Serikat pada tanggal 15 Januari 2004 (pada premierSundace Film Festival), Perancis (7 Juli 2004), Argentina (29 Juli 2004), Inggris (27 Agustus 2004), Chile (21 Oktober 2004), Jerman (28 Oktober 2004).

Film ini diputar di banyak festival film yang lain seperti Festival Film Cannes 2004, Festifal Film Copenhagen Internasional Denmark, Festifal Film Espoo Finlandia, Festifal Film Telluride Amerika Serikat, Toronto International Film Festival Kanada, Festival Film Vancouver International Kanada, Literature Party in Cinema Film Festival Frankfurt, Jerman serta Festival Film Morelia Meksiko.

The Motorcycle Diaries (Diarios de motocicleta) merupakan film yang dibuat pada tahun 2004 tentang perjalanan dan merupakan gambaran riwayat hidup singkat dari Ernesto Guevara yang berusia 23 tahun pada tahun 1952. Ernesto Guevara adalah mahasiswa kedokteran dengan spesialis penyakit lepra/ kusta yang akan menempuh ujian spesialis 3 bulan lagi. Guevara bersama temannya, Alberto Granado memiliki jiwa petualang dan hedonisme yang tinggi berencana melakukan perjalanan dengan menggunakan sepeda motor melalui jalur Buenos Aires (Argentina) – Miramar (Argentina) – Lago Trias (Argentina) – Temucho (Chile) – Valvaraiso (Chile) – Gurun Atacama (Chile) – Tambang Chuquicamata (Chile) – Cuzco (Peru) – Machu Pichu (Peru) – Lima (Peru) – Pucalpa (Peru) – San Pablo (Peru) –Leticia (Columbia) dan Caracas (Venezuela).

Tujuan utama perjalanan ini adalah untuk bersenang-senang, menikmati keindahan Amerika Latin. Namun perjalanan tersebut tidak semulus yang dibayangkan. Guevara banyak menemui dan menyaksikan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Guevara dan Granado menyaksikan berbagai ketidakadilan yang terjadi di masyarakat miskin yang tidak pernah mereka alami. Terjadinya kelas-kelas di masyarakat seperti digambarkan yakni adanya kesenjangan anatra si kaya dan si miskin dikemas dengan cukup apik. Berbagai ketidakadilan dan kesenjangan tersebuat digambarkan pada  seorang warga yang kehilangan tanahnya karena dirampas oleh penguasa karena mereka menganut keyakinan komunis, ketidakadilan yang mereka saksikan pada pekerja tambang di Chuquicamata, Chile atau pemisahan tempat tinggal bagi  para penderita kusta di San Pablo, Peru.

Pada saat membantu penderita kusta di Peru selama tiga minggu, Guevara mengamati pembagian masyarakat, dimana masyarakat yang sehat (dokter, staf serta perawat) tinggal di sisi utara sungai sementara penderita kusta tinggal di bagian selatan. Bagian utara dan selatan San Pablo, Peru dipisahkan oleh sebuah sungai sehingga untuk mencapai wilayah yang ditempati oleh para penderita kusta, Guevara, Granado dan para petugas rumah sakit lainnya harus menyebrangi sungai dengan menggunakan perahu.

Pada kunjungan pertamanya ke wilayah tersebut, Guevara dan Granado menolak menggunakan sarung tangan karet dan menunjukankan solidaritas nya dengan cara bersalaman dengan para penderita kusta. Di akhir cerita film ini, ditutup dengan kesan yang sangat manis pada saat Guevara ingin melakukan perpisahan dengan para pasiennya di bagian selatan. Ia yang menderita asma rela berenang melintasi sungai pada malam hari  untuk menghabiskan malam di wilayah bagian selatan tersebut.

Pertemuan-pertemuan yang terjadi terhadap banyaknya ketidakadilan sosial mengubah cara Guevara melihat dunia, dan berimplikasi pada motivasi kegiatan politik di kemudian hari sebagai revolusioner Marxis. Ernesto Guevara dikenal secara internasional sebagai  ikon komandan gerilya aliran Marxisme yang revolusioner, Che Guevara.

Film Diaries of Motorcycle ini merupakan jalinan kerjasama produksi internasional antara beberapa negara, yaitu Argentina, Amerika Serikat, Chili, Peru, Brazil, Inggris, Jerman, dan Perancis. Bila harus melihat Sinema Ketiga dari sisi geografisnya, tentunya akan samar untuk menentukan peran Dunia Ketiga dalam produksi film ini. Pasalnya, meskipun sebagian besar negara terlibat merupakan negara-negara Amerika Latin (Argentina, Chile, Peru, dan Brazil),  yang mana merupakan bagian dari Dunia Ketiga,serta melibatkan negara-negara asal pembentuk tradisi Marxisme (Inggris, Jerman, dan Perancis), namun film ini juga melibatkan Amerika Serikat, yang jelas-jelas sangat kapitalis dan berseberangan dengan prinsip Sinema Ketiga. Namun hal ini tidak menjadi masalah. Film ini tetap dapat dikategorikan sebagai Sinema Ketiga, karena ia membalut ideologi Marxisme di dalamnya. Jadi yang membuat film ini dikategorikan sebagai Sinema Ketiga adalah isinya, bukan asal produsernya.

Dalam film ini, diperlihatkan identitas Amerika Latin melalui berbagai gambaran realitas sosial masyarakat. Sesuai dengan teori Marxis bahwa masyarakat terbagi atas kaum kapital dan kaum proletar dan bagaimana kaum kapital memanfaatkan kaum proletar untuk mendapatkan uang, dalam film ini digambarkan bagaimana jenjang tercipta antara si kaya dan si miskin. Adegan yang paling jelas adalah ketika seorang pemilik tanah merampas tanah sepasang suami istri yang miskin atau pada saat para pekerja tambang diperlakukan dengan tidak layak oleh bosnya.

Menurut Marx lagi, kebanyakan dari kaum proletar harus hidup di daerah pinggiran atau dalam suasana yang kumuh. Hal ini terlihat juga lewat bagaimana para pembuat film menggambarkan keadaan di mana para penderita kusta harus tinggal di daerah selatan, sementara para perawatnya justru tinggal di daerah utara. Kedua daerah itu dibatasi oleh sebuah sungai yang seolah menjadi simbol jarak antara kedua kelas yang berbeda.

Adegan di mana Che mengajak seorang penduduk di perkampungan kusta bersalaman juga menggambarkan adanya kesenjangan. Saat itu, si penduduk merasa aneh karena Che mau bersalaman dengan mereka tanpa menggunakan sarung tangan.  Dari adegan ini, kita bisa menganalisis bahwa biasanya orang-orang di luar kelas mereka akan merasa ‘jijik’ atau munculnya perasaan takut tertular bila bersentuhan dengan mereka, yang lagi-lagi, menggambarkan perbedaan kelas.

Tidak hanya isu kelas, namun isu agama juga muncul dalam film ini. Yaitu tergambar dari bagaimana para suster yang bertugas di wilayah selatan dengan tegas menerapkan peraturan bahwa hanya mereka yang mengikuti misa yang boleh mendapatkan jatah makanan. Peraturan ini memperlihatkan adanya tekanan agama untuk bertahan hidup.

Menit-menit akhir film ditandai dengan adegan heroik Che dalam menyeberangi sungai yang membatasi antara penderita dan staff medis, dengan tujuan merayakan ulang tahunnya dengan warga selatan (para penderita kusta), tanpa mempedulikan kondisi fisiknya yang lemah dan memiliki penyakit asma. Adegan ini menjadi semacam simbol perlawanan Che atas berbagai ketidakadilan yang dilihatnya sepanjang perjalanannya di film. Keberhasilannya menyeberangi sungai disambut meriah oleh para penduduk bagian selatan sungai, para penderita (kaum tertekan).

Selain jenjang kelas antara si miskin dan si kaya, film ini juga menyajikan identitas Amerika Latin lewat tradisi-tradisi menarik, misalnya tradisi tari berpasang-pasangan dan musik-musik khas Amerika Latin yang mengiringi di sela-selanya.

Referensi :

Cetak :

Hayward, Susan. (2001). Cinema Studies The Key Concepts 2nd ed. New York : Routledge Taylor and Francis Group.

Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication, 7th ed. Belmon, CA : Wardsworth.

McQuail, Denis. (2010). McQuail’s Mass Communication Theory (6th  Edition). London : SAGE Publication.

Octavio Getino dan Fernando Solanas, “Toward a Third Cinema,” Tricontinental No. 14, Oktober 1969, hlm. 107-132 (Havana: Organización de Solidaridad de los Pueblos de África, Asia y América Latina).

Smiers, Joost. (2003). Arts under Pressure: Promoting Cultural Diversity in the Age of Globalization.  London: Zed Books.

Publikasi Elektronik :

Higbee & Hwee Lim. (2010). Concepts of Transnational Cinema: Towards a Critical Transnationalism in Film Studies. University of Exeter, Exeter UK : Transnational Cinemas Volume 1 Number 1, diakses dari https://www.ualberta.ca/~vruetalo/Sarli-Bo%20Research/52381952.pdf. 23 November 2015.

Kutipan gambar dari : sites.psu.edu

Etiskah Menjadikan Anak dan Remaja Target Market?

Advertising tell the truth while journalism tell the whole truth.

Hal tersebut telah cukup menggambarkan perbedaan periklanan dan jurnalistik. Sebagai pembawa informasi tentang berbagai peristiwa, sudah menjadi keharusan bagi setiap jurnalis untuk selalu mengutamakan kejujuran dan terus terang membuka segala yang terjadi tanpa ada yang disembunyikan. Di lain sisi, dunia periklanan juga memiliki kewajiban untuk berterus-terang tentang produk yang dipasarkan. Namun perbedaannya adalah bahwa iklan tidak akan mungkin untuk memberitahukan segalanya. Tentu saja yang dipilih untuk diinformasikan adalah hanya yang berkaitan dengan benefit dari produk yang diiklankan. Agak mustahil rasanya bila suatu iklan malahan mempublikasikan kelemahan produknya. Hal inilah yang mungkin menyebabkan banyak sekali persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa industri periklanan adalah gudang segala kebohongan.

Dunia periklanan sendiri sangat erat kaitannya dengan segmentasi dari produk yang akan diiklankan. Hal ini dimaksudkan agar iklan yang diproduksi dapat tertanam di benak target yang telah difokuskan. Nah, dewasa ini banyak sekali iklan yang melakukan targeting terhadap anak-anak dan remaja karena dianggap merupakan sasaran yang sangat tepat untuk kenaikan sales karena paling mudah dipengaruhi. Produk-produk yang termasuk di sini meliputi food and beverage, tobacco and alcohol, serta pemasangan iklan di media-media yang seharusnya menjadi sarana pembelajaran anak. Beberapa contoh dapat dengan mudah kita temukan. Misalnya McDonalds yang menarik perhatian anak-anak dengan memberikan hadiah mainan setiap pembelian paket tertentu. Targeting yang dilakukan ini menciptakan beberapa kontroversi di mata para khalayak.

Pihak kontra mengatakan bahwa targeting terhadap anak-anak dan remaja akan berdampak buruk pada berbagai hal (meliputi economically, societally, dan ecologically). Seperti yang terjadi di Amerika, bahwa anak-anak telah dibombardir dengan segala pesan-pesan yang membuat mereka konsumtif sedari kecil.

Sementara argumentasi dari pihak pro adalah bahwa iklan memberikan benefit dibandingkan kerugian yang diberikan. Bahwa iklan telah membantu dalam menyajikan pilihan-pilihan mengenai produk apa yang paling bisa memenuhi kebutuhan para konsumen.

Jadi di pihak mana saya berada?

Mempertimbangkan berbagai hal di balik ini, saya lebih memilih berada di kubu kontra. Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa satu dari lima isu kontroversial yang menyebabkan suatu iklan dianggap tidak etis adalah isu mengenai anak-anak (5 controversial issues are puffery, decency, stereotyping, children, controversial product). Isu mengenai anak-anak itu sendiri meliputi violence, dangerous acts, unhealthy habits, overall materialism. Targeting terhadap anak-anak ini berkaitan erat dengan poin unhealthy habits, yakni perilaku konsumtif.

Masuknya anak-anak pada lima isu kontroversial tersebut merupakan alasan  mendasar mengapa saya memilih untuk menolak konsep targeting terhadap anak-anak. Namun ada beberapa poin lagi yang dapat dijadikan alasan lain, sebagai berikut:

Iklan bukan Refleksi Kehidupan

Suatu iklan biasanya melalui proses riset terlebih dahulu guna mencari tahu insight apa yang dapat dijadikan pedoman strategi kampanye yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu pihak industri periklanan seringkali berkelit mengklaim bahwa iklannya etis dengan mengatakan bahwa apa yang disuguhkan di iklan yang bersangkutan merupakan wujud refleksi dari kehidupan sehari-hari khalayak. Padahal pada kenyataannya tidak semuanya merupakan refleksi.

Pada kenyataannya, apa yang terjadi di iklan lebih sering menjadi labeling bagi penonton yang bersangkutan. Sebenarnya ini sesuai dengan tujuan utama beriklan, yaitu mengubah perilaku target marketnya. Yang  diubah di sini maksudnya adalah perilaku keinginan membeli dan berujung pada keputusan pembelian.

John B. Watson, seorang psikolog penemu istilah behaviorisme yang mana juga berkecimpung di bidang periklanan, menyatakan pendapat bahwa apabila suatu perusahaan ingin ditanggapi oleh targetnya maka mereka harus melaksanakan iklan secara terus menerus dalam selang waktu tertentu.  Namun kini sering sekali terjadi pergeseran karena terlalu banyaknya terpaan yang dikirimkan dapat mengakibatkan khalayak kehilangan daya selektivitas. Apalagi bagi remaja dan anak-anak yang masih sangat mudah terpengaruh iklan baik secara rasional maupun emosional.

Lebih Banyak Wants dibandingkan Needs

Setiap manusia sudah tentu memiliki hal-hal yang harus dipenuhi dalam menjalani kehidupannya. Dalam ilmu periklanan hal-hal tersebut dibagi menjadi needs dan wants. Di dalam ilmu psikologi aspek yang mendukung manusia untuk melaksanakan sesuatu selalu didasarkan pada kebutuhan mereka. Inilah yang menyebabkan para pelaku iklan menjadikan faktor kebutuhan sebagai titik perhatian utama dalam menyusun sebuah kampanye.
Kebutuhan manusia salah satunya berkaitan dengan hubungan sosial yang baik dengan sesamanya. Secara psikologis tiap-tiap individu selalu menginginkan diterima oleh orang-orang di sekitarnya dan selalu nyaman dengan apa adanya dirinya. Melalui kesadaran akan hal ini, para pengiklan selalu mengingatkan kekurangan seseorang yang dapat diatasi dengan poduk yang diiklannkan, atau dengan kata lain penawaran solusi. Sehingga diharapkan akan terjadi perubahan, yakni ke arah keputusan pembelian.

Apabila murni bertujuan pemenuhan kebutuhan manusia, sebuah iklan mungkin saja dapat dikatakan etis. Namun pada masa ini kembali terjadi pergeseran bahwa yang lebih banyak ditawarkan oleh sebuah iklan adalah wants, sementara needs hampir musnah sama sekali.

Renggangnya Hubungan Orang Tua dan Anak

Ketika menyasar kepada anak-anak, pengiklan telah memperkirakan bahwa mereka akan merengek pada orangtua untuk membelikan produk yang diiklankan. Namun kebiasaan anak-anak ini bukan hanya akibat dari iklan, namun mungkin juga disebabkan oleh perlakuan tertentu dari orang tua mereka. Orang tua yang terlalu sibuk bekerja sehingga tidak punya banyak waktuuntuk anaknya akan merasa bersalah. Sekali mereka memiliki waktu bersama keluarga, tentu saja mereka tidak akan sungkan membelikan apa yang diinginkan anaknya.

Keberadaan iklan-iklan yang mendominasi dan menjejali pikiran anak-anak, semakin membuat orang tua meremehkan pemilihan produk yang baik. Kemudian hal ini berakibat pula pada semakin konsumtifnya mereka dalam mengganti waktu bersama dengan membeli berbagai produk yang belum diketahui digunakan atau tidaknya.

Dampak Jangka Panjang

Yang mungkin akan paling terpengaruh namun belum terasa dari terpaan iklan melalui targeting anak-anak ini mungkin adalah efek jangka panjangnya yang mana akan mencakup berbagai aspek.

Di lihat dari sisi ekonomis, seorang anak telah diajarkan untuk menjadi pribadi yang konsumtif semenjak kecil. Hal ini mungkin berakibat pada pengeluaran besar-besaran pada barang-barang yang sebenarnya tidak perlu dibeli. Apalagi kebiasaan ini akan ditanamkan pada anak-anak yang berarti akan tertempel di benak mereka sampai mereka dewasa.

Pada bidang kesehatan, targeting pada anak-anak dan remaja juga akan memberikan dampak jangka panjang yang buruk. Terutama pada iklan-iklan produk makanan cepat saji dan cemilan-cemilan. Anak-anak terbiasa untuk membelinya karena penawaran berbagai hadiah (mainan atau apapun) setiap pembelian produk tersebut. Sehingga sengaja ataupun tidak mereka akan mengkonsumsinya. Padahal makanan-makanan tersebut merupakan makanan yang banyak kejahatan bagi tubuh manusia dan sangat memungkinkan obesitas bila terjadi adiksi berkelanjutan.

Secara psikologis tentunya karena iklan telah mampu mengubah perilaku seseorang. Yang dipermasalahkan adalah perubahan perilaku itu berdampak negatif. Telah dibahas beberapa kali sebelumnya, bahwa iklan akan menjadikan khalayaknya bersifat konsumtif. Targeting terhadap anak-anak dan remaja akhirnya menjadikan mereka semakin menjadi. Kebiasaan membeli berbagai hal, bahkan pun ketika ia tidak membutuhkannya, akan menjadi permanen. Selain itu banyaknya terpaan iklan pada mereka akan mendidik mereka menjadi seorang yang terlalu labil. Padahal sebelumnya anak-anak dan remaja memang merupakan target empuk dari periklanan karena sifat mereka yang sangat mudah dipengaruhi. Keberadaan iklan semakin menjadi labeling bagi sifat tersebut dan membentuk mereka menjadi pribadi yang kekurangan loyalitas terhadap sesuatu.

Lepas dari segala perihal di atas, etis atau tidaknya konsep targeting terhadap anak-anak dan remaja, orang tua memiliki peran yang sangat besar sebagai pemegang kendali dan panutan dalam sebuah keluarga. Orang tua memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan mendampingi anak-anaknya dalam setiap pembelian produk, yang mana yang perlu dan yang mana yang tidak. Menjadi orang tua berarti menjadi pusat pendidikan pertama seorang anak. Maka ada baiknya memberikan contoh yang baik, bukan malah mengajak anak untuk mengikuti pola hidup konsumtif.